Latar Belakang Larung Risalah Do’a
dimulainya, namun larungan yang dulu dilakukan tidak diadakan secara besar –
besaran dan bersama – sama separti sekarang ini. Dulu hanya dilakukan oleh
para masyarakat sekitar, yang dilakukan secara individu, atau tingkat sampai satu
RT. Larungan yang dulu acaranya tidak padat seperti saat ini, dulu hanya dilarung
dari pinggir saja, tidak dibawa ketengah – tengah telaga. (Wawancara dengan
Bapak Totok 18 juni 2009)
Pada tahun 1990 dan tahun – tahun sebelumnya Telaga Ngebel sangat
angker, sering meminta korban Jiwa. Korban jiwa tersebut tidak hanya dari orang
dari kawasan Ngebel saja, namun dari luar daerah juga. Dalam setahun saja ada
sampai 10 orang yang menjadi korban telaga Ngebel. Pernah terjadi ada 2 orang
warga kakak adik Ngebel juga, sedang mengendarai mobil berniat ingin pulang
dari bekerja, dan lewat dipinggir telaga, namun mobil tersebut malah terjebur ke
telaga. Anehnya, pintu mobil tersebut tidak ada yang terbuka namun kedua
orang yang seharusnya di dalam mobil ternyata tidak ada. Setelah dicari – cari
oleh masyarakat sekitar yang pandai berenang tidak ketemu juga. Setelah
masyarakat sekitar kelelahan mencari, mereka istirahat, setelah mereka istirahat,
salah satu orang mayatnya keluar dengan sendirinya, terapung di telaga namun
yang satunya belum. Oleh keluaraganya mayat yang satu tadi di urus untuk di
makamkan, setelah acara pemakaman selesai baru mayat yang satunya keluar
dan terapung diatas telaga.
Dan ada satu cerita lagi, ada suatu sekolahan yang mengadakan
Perjusami di pinggir telaga, ada salah satu ketua dan wakil kelompok peserta
Perjusami mengatakan kepada para anggotanya untuk tidak berada di dekat –
dekat telaga, dia bilang bahwa telaga tersebut Wingit, Angker. Namun setelah
beberapa saat kedua anak bilang begitu, malah mereka berdua yang bermain –
main di Telaga. Mereka berenang dipinggir telaga, mereka naik diatas batang
pohon pisang setelah dinaiki pohon pisang tadi menengah setelah beberapa saat
mereka terguling akhirnya kedua anak tersebut tenggelam ditelaga.
Masyarakat sekitar membantu mencari kedua anak tersebut, namun
tidak ketemu juga. Dan oleh para Guru pembina pramuka dipanggilkan para
penyelam dari Malang. Ada 5 orang penyelam, yng datang dari Malang. Yang
pertama ada satu orang yang menyelam duluan, namun setelah bererapa saat
orang tersebut muncul lagi, dan tidak mau mencari atau menyelam disana lagi.
Oleh penyelam yang lain diangkat dan dijeburkan lagi namun dia sudah tidak
berani, dan kembali lagi.
Karena tidak mau memaksa lagi kemudian penyelam yang lainya akhirnya
menyelam secara bersama – sama. Mereka mencari ke setiap sudut telaga,
sampai ke dasar telaga namun tidak ketemu juga. Namun mereka masih
berusaha untuk mencari, dan hasilnya sama saja tidak ketemu juga. Kemudian
mereka naik untuk istirahat sejenak di pinggir telaga. Setelah istirahat beberapa
saat, kemudian mayat kedua anak tersebut keluar dan mengapung diatas telaga.
Setelah mayat keduanya dapat diangkat, penyelam yang pertama tadi baru
bilang, kalau tadi dia tidak mau mencari lagi itu karena penyelam tersebut saat
mencari mayat anak – anak tadi dia melihat, di dalam telaga sedang ada
beberapa orang yang sedang berbincang – bincang, seperti mereka sedang
mengadakan pertemuan. Mereka berpakaian serba merah, duduk dikursi,
ditengahnya ada meja, dan anak – anak tadi berada disitu juga disamping salah
satu dari orang tadi namun diam saja. Selain itu masih banyak kejadian –
kejadian aneh lainya yang tidak wajar, atau tidak bisa dinalar.
Berangkat dari semua kejadian yang tidak wajar di telaga Ngebel
tersebut, Camat Kecamatan Ngebel pada saat itu mengundang para sesepuh
masyarakat Ngebel, kepala desa yang berada di Kecamatan Ngebel, dinas
kebudayaan kecamatan Ngebel untuk membicarakan masalah tersebut.
Maksudnya adalah bagaimana cara untuk meminimalisir semua kejadian yang
tidak wajar tersebut.
Dalam musyawarah tersebut ada beberapa usul dari para sesepuh,
diantara sesepuh tersebut ada yang usul, yaitu disepanjang pinggir telaga dikasih
benang warna merah tanpa putus. Ada juga yang usul untuk memberi tali
dipinggir telaga dengan benang warna merah, putih, dan hitam. Dan ada yang
juga usul, untuk melarung tumpeng dengan menggunakan beras merah, dan juga
ayam panggang yang ayamnya tadi harus berwarna merah mulus. Dan kita
lakukan Larungan secara bersama – sama supaya lebih mengena usul salah satu
peserta musyawarah.
Setelah membicarakan beberapa lama akhirnya para sesepuh tadi
sepakat, untuk memilih usulan yang terakhir tadi yaitu dengan melarung
tumpeng dengan menggunakan beras merah, dan juga ayam panggang yang
ayamnya tadi harus berwarna merah mulus. Dan mulai membahas pembentukan
panitia dan juga mendesain acara Larungan tersebut menjadi lebih menarik. Dan
akhirnya larungan tersebut menggunakan buceng dengan mengunakan beras
merah yang besar dengan nama Buceng Ageng. Yang dilarung dalam acara
tersebut tidak hanya Buceng Ageng saja, ada tambahan lain yaitu Risalah Do’a.
Sebelum dilarung buceng dibawa kelliling telaga dulu. Para peserta musyawarah
setuju dengan acara dan semua perlengkapan Larung tersebut.
Dan akhirnya pada tanggal 1 Suro tahun 1992 diadakan larung yang
pertama. Pada larungan yang pertama ini suasana sangat sakral sekali, banyak
masyarakat yang menagis karena terharu. Setelah diadakanya larung yang
pertama tersebut, suasana telaga jadi agak tenang, namun setelah beberapa
bulan masih terjadi kecelakaan yang menelan korban jiwa, dan kejadian –
kejadian yang aneh atau tidak wajar lainya. Para sesepuh beserta masyarakat
sekitar telaga Ngebel mengadakan musyawarah lagi. Dan mengganti, atau
menambah sesaji atau tumpeng yang dilarung tadi, dan akhirnya pada larung
yang kedua suasana juga tenang lagi, namun setelah beberapa saat terjadi
kecelakaan lagi, dan diadakan musyawarah lagi dan mengganti sesaji lagi, dan
akhirnya tidak terjadi kecelakaan lagi, kalaupun terjadi kecelakaan itu kecelakaan
yang wajar, artinya tidak sampai tewas di telaga.
Dalam perkembanganya upacara Larung Sesaji Telaga Ngebel menjadi
kegiatan yang dikemas oleh Pemda Ponorogo melalui Dinas Pariwisata dan Seni
Budaya. Kegiatan Larung Sesaji selain mempunyai tujuan memelihara budaya
masyarakat setempat tentunya juga diharapkan oleh Pemda Ponorogo menjadi
salah satu objek wisata yang menarik dibidang Wisata Budaya.
Berangkat dari pemikiran mengembangkan wisata telaga Ngebel Dinas
Pariwisata dan Seni Budaya Kabupaten Ponorogo mengemas upacara Larung
Sesaji menjadi lebih menarik tanpa mengesampingkan dan menghilangkan
tujuan dasarnya yaitu Ritual. Dengan nama Larung Risalah Do’a. (wawancara
dengan Mbah Warsimin dan Bapak Totok, 2 juli 2009)
Maksud dan Tujuan
Larung Risalah Do’a adalah kegiatan tradisi Ritual masyarakat di sekitar
Telaga Ngebel, Kabupaten Ponorogo. Upacara Larung Risalah Do’a diadakan
setahun sekali tepatnya pada tanggal 1 Suro. Upacara Larung Risalah Do’a sudah
menjadi Kebiasaan atau Tradisi yang harus dilaksanakan setiap tahunya hal ini
menurut kepercayaan masyarakat secara umum di sekitar telaga Ngebel
(wawancara dengan Mbah Warsimin dan Bapak Totok, 2 juli 2009).
Maksud dan tujuan diadakanya Larung Risalah Do’a adalah, sebagai
wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan kenikmatan yang
telah dinikmati masyarakat Ngebel, dan juga supaya masyarakat Ngebel
diberikan keselamatan, dijauhkan dari mara bahaya. Selain itu juga untuk
menghaturkan sedekah kepada penunggu telaga Ngebel. Menurut kepercayaan
masyarakat sekitar yang menunggui telaga Ngebel adalah seekor Naga besar
yang bernama Baru Klinthing, sesuai dengan legenda diatas. Dan juga untuk
membagi rejeki yang telah didapatkan Masyarakat Ngebel, melalui Buceng Ageng
untuk dinikmati oleh para penghuni telaga, seperti ikan dan lain sebagainya
(wawancara dengan Mbah Warsimin dan Bapak Totok, 2 juli 2009).
Masyarakat sekitar percaya bahwa kalau tidak diadakan larung maka
penunggu telaga akan marah dan akan meminta banyak korban. Akan terjadi
kecelakaan yang banyak menelan korban jiwa, panen gagal, wabah penyakit, dan
kejadian – kejadian yang buruk lainya. Suasana telaga menjadi mencekam
kembali (wawancara dengan Mbah Warsimin dan Bapak Totok, 2 juli 2009).
Tujuan lainya adalah untuk menjaga tradisi supaya tidak punah, dan juga
supaya telaga Ngebel banyak dikunjungi oleh wisatawan. Dengan banyaknya
wisatawan bisa meningkatkan perekonomian warga masyarakat sekitar telaga
Ngebel. (wawancara dengan Mbah Warsimin dan Bapak Totok, 2 juli 2009).
Persiapan dan Perlengkapan
Untuk pelaksanaan Larung Risalah Do’a ada beberapa persipan. Persiapan
tersebut meliputi persiapan fisik dan non fisik. Yang dimaksud persiapan fisik
adalah persiapan barang – barang atau benda yang akan digunakan dalam
Larung Risalah Do’a. Sedangkan persiapan non fisik adalah persiapan batiniah
dari para panitia. Sebenarnya persiapan perlengkapan tidak memerlukan waktu
yang panjang, karena panitia atau pihak – pihak yang terlibat dalam acara
tersebut setiap tahun hampir sama, kalaupun ada perubahan hanya beberapa
saja.
Persiapan tersebut meliputi pembersihan tempat acara, yaitu dilapangan
kecamatan Ngebel, dan juga tempat sekitar. Ada juga panitia yang bertugas
menyiapkan segala sesuatu yang akan dibutuhkan (wawancara dengan Mbah
Warsimin dan Bapak Totok, 4 juli 2009).
Sesaji yang ada dalam kegiatan Larung Risalah Do’a terbagi dua, yaitu
sesaji yang akan di Larung dan sesaji yang dipakai untuk Selamatan. Untuk lebih
jelasnya dapat kita lihat dibawah ini:
1. Sesaji larungan:
- Kambing Kendit, diambil kepala dan kaki
- Ayam dengan warna bulunya merah semua.
- Mori putih 1 lembar
- Cok bakal 8 buah yang berisi 1 telur, kembang telon, menyan.
- Kwali 4 buah untuk tempat sesaji dan kembang setaman
- Buceng beras merah, kecil
- Buceng Ageng Buceng beras merah yang besar yang tingginya ± 2meter
- Buceng Purak, yang berisi buah – buahan dan hasil bumi yang berasal
- dari daerah Ngebel.
- Risalah Do’a, yaitu tabung kaca yang berisi do’a –do’a.
2. Sesaji selamatan:
- Metri Danyang : Golong 7, sayur, lauk
- Metri Tlogo : Golong 5, sayur, lauk
- Rasulan : Nasi uduk dan ayam lodo
- Leluhuran : Nasi, lauk, serundeng, dan kering
- Apem secukupnya
- Buceng tulak : nasi buceng yang di atasnya di beri kopi bubuk
- Buceng Kuwat : buceng yang terbuat dari ketan
- Jenang : jenang warna merah, putih, tulak, sengkolo
- Kupat-lepet : kupat dari beras dan kupat dari ketan
- Polo Pendhem : ketela phon, ubi jalar, tales, dsb
- Kupat luar, pisang raja 1 tangkep, kambil gundhil, gula 1 tangkap,kinang ganthalan, rokok grendo, binat
- Klunthung waluh : Waluh dikukus diberi gula merah
- Buceng beras merah 2, ayam panggang 2
- Jajan pasar
Prosesi Larung Risalah Do’a
Tempat penyelenggaraan Larung Risalah Do’a adalah di telaga Ngebel
setiap tanggal 1 Suro. Bulan Suro adalah permulaan bulan baru pada
penanggalan jawa. Mengapa Larung Risalah Do’a diadakan pada tanggal 1 Suro,
karena menurut orang jawa disebut bulan Nyepi ( dalam bahasa Jawa: meneng /
kendel) bulan yang bagus untuk mawas diri dan berdo’a kepada sang pencipta,
sehingga baik untuk melakukan hal yang magis atau bersifat religius.
Rangkaian kegiatan Larung Risalah Do’a mempunyai beberapa urutan dan
dengan tempat yang berbeda – beda pula. Hal ini dapat kita lihat dari penjelasan
sebagai berikut:
Pada siangnya sebelum acara Larung risalah Do’a dilaksanakan, kambing
kendit yang sudah ada tadi dimandikan dengan kembang setaman di halaman
Kecamatan Ngebel. Setelah kambing tersebut dimandikan kemudian disembelih.
Pada saat penyembelihan darah dari kambing kendit tersebut dan darahnya
ditaruh di kwali yang dilapisi kain mori.
Darah tersebut kemudian dibawa ke sungai yang mengarah ke telaga dan
didilemparkan kesungai tersebut. Maksud dilemparkan di sungai yang mengarah
ke telaga adalah supaya darah kambing kendit tadi bisa menyebar ke seluruh
penjuru telaga. Kemudian kambing tersebut dikuliti, kepala dan kaki semua
dipotong. Kepala dan kulit kambing ditaruh di kain mori dan dimasukan ke kwali,
sama juga dengan kaki kambing. Dan daging kambing diolah untuk hidangan
pada saat selamatan malam hari. Dan ayam merahnya juga sama disembelih
juga, ada dua ayam yang satu untuk dilarung dan yang satunya dipakai untuk
selamatan.
Pada malam harinya pada pukul 20.00WIB diadakan acara Tirakatan, di
Masjid Ngebel diadakan Isthighozah yang dihadiri oleh para ahli agama dari
wilayah kecamatan Ngebel. Dan acara isthighozahan ini berlangsung cukup lama
dan berakhir pada pukul 22.00WIB.
Ditempat yang berbeda, yaitu di depan dermaga ada acara Gembrung.
Acara tersebut mulai pukul 20.00WIB sampai acara melarung Buceng kecil dan
kembang api selesai. Gembrung adalah acara puji – pujian kepada Tuhan Yang
maha esa, dan juga menceritakan tentang perjalanan para Nabi.
Dan ditempat yang berbeda pula pada pukul 20.00WIB para sesepuh dan
para anggota paguyuban “Purwo Ayu Mardi Utomo” dari Kecamatan Ngebel dan
sekitarnya berkumpul pendopo Kecamatan Ngebel. Tumpeng dan ubo rampe
yang akan dilarung termasuk kepala kambing dan kaki kambing tadi dikumpulkan
pada suatu tempat. Kemudian para sesepuh tersebut mengadakan puji – pujian
dan do’a bersama dengan doa atau puji – pujian yang di anut atau dipercaya oleh
Paguyuban “Purwo Ayu Mardi Utomo”.
Acara do’a bersama tersebut yang dipimpin oleh sesepuh masyarakat
Ngebel yaitu Mbah Warsimin. Acara do’a dan puji – pujian tersebut berlangsung
sangat lama sampai hampir pukul 23.00WIB. Dan setelah acara do’a bersama itu
selesai maka dilanjutkan mengubur kepala dan kulit kambing di Lapangan
kecamatan Ngebel pada lubang tempat mengubur kepala kambing tersebut
dikasih Cok Bakal, sebelum di masukan kelubang tersebut terlebih dahulu
dibacakan do’a dan membakar kemenyan. Yang bertugas mendoakan adalah
Mbah Warsimin juga. Dan kaki kambing sama juga dikubur, namun letaknya
yang berbeda, keempat kaki kambing tersebut dikubur di empat penjuru mata
angin. Prosesnya sama dengan mengubur kepala kambing tadi yaitu dengan
menggunakan Cok Bakal juga dan kemenyan serta dibacakan do’a dan juga
membakar kemenyan. Setelah acara tersebut selesai maka dilanjutkan dengan
acara selanjutnya yaitu melarung buceng atau tumpeng kecil yang berisi beras
merah dan juga ayam merah panggang.
Sebelum dilarung buceng tersebut dibawa keliling mengitari telaga, yang
dulunya dilakukan dengan jalan kaki, namun sekarang dilakukan dengan
menggunakan mobil, hal tersebut dikarenakan, para sesepuh tadi sudah lanjut
usia dan tidak kuat kalau harus berjalan jauh, karena jalan melinggkar telaga
cukup jauh juga yaitu sekitar 5 km.
Setelah selesai kemudian dilanjutkan dengan melarung buceng tersebut,
yang bertugas melarung adalah bapak Sagun. Mulai larungan yang pertama pada
tahun 1992 sampai sekarang yang bertugas melarung adalah beliau. Melarung
buceng tersebut adalah dengan cara menaruh tumpeng tersebut di perahu kecil
yang terbuat dari bambu, atau yang disebut Gethek, dan didorong oleh Bapak
Sagun dengan berenang sampai ditengah – tengah telaga dan sesampainya
ditengah telaga kemudian ditenggelamkan.
Ditengah – tengah telaga dikasih bambu dan dikasih obor yang berbentuk
tulisan 1 SURO. Setelah acara tersebut selesai, kemudian dilanjutkan dengan
kembang api yang tempatnya ditenggah telaga juga disamping tulisan 1 SURO.
Kembang api tesebut berlangsung ± 15 menit. Kembang api tersebut baru
dilaksanakan pada 1 Suro tahun kemarin, pada 1 Suro tahun – tahun yang lalu
belum diadakan. Kembali ke pembawa buceng, pembawa buceng tadi berenang
kembali kepinggir telaga, namun sudah tidak menggunakan gethek, bapak Sagun
harus berenang tanpa alat bantu sampai kepinggir telaga. Setelah beberapa saat
kembang api berakhir, bapak Sagun juga sudah sampai dipinggir telaga dengan
selamat. Acara larung yang malam hari sudah berakhir, dan para sesepuh tadi
berkumpul di Pendopo Kecamatan untuk selamatan lagi dan begadang sampai
pagi. (Wawancara dengan Mbah Warsimin dan Bapak Totok, 2 Juli 2009).
Pada pagi harinya sekitar pukul 09.00 WIB para sesepuh dan semua
panitia Larung Risalah Do’a bersiap – siap untuk melakukan kegiatan berikutnya.
Buceng Ageng dan Buceng Purak yang dipakai untuk Larung Risalah Do’a ditaruh
didepan Kecamatan Ngebel. Dan para pembawanya bersiap – siap untuk
melakukan tugasnya masing – masing. Ada yang berbawa buceng, ada yang
bertugas membawa payung, ada juga yang membawa dan yang mengiringi
jalanya buceng.
Dilapangan kecamatan para panitia juga sudah bersiap – siap untuk
menyambut bupati beserta jajaran. Dari tempat parkir Bupati beserta jajaran
dijemput oleh para penari. Dan diiringi oleh para penari tersebut menuju
ketempat acara. Setelah beberapa saat Bapak Bupati, Wakil Bupati beserta
jajaran tiba ditempat dan menempati tempat yang telah disediakan oleh panitia.
Setelah Bupati beserta jajaran menepati tempat yang sudah diasediakan
langsung disambut dengan tarian. Tarian tersebut adalah tari gambyong yang
dibawakan oleh beberapa orang perempuan. Setelah beberapa saat tarian
gambyong tersebut selesai, para petugas pembawa buceng tadi membawa
Buceng Agung dan Buceng Purak dari halaman kecamatan masuk ketempat
acara.
Dengan dipimpin oleh seorang pemimpin rombongan, para pembawa tadi
berjalan beriringan. Dipaling depan adalah pemimpin rombongn dan
dibelakangnya ada gadis yang berjumlah sembilan, kemudian ada yang
membawa Buceng Ageng, membawanya yaitu dengan dipanggul oleh empat
orang pemuda, kemudian dibelakangnya ada Buceng Purak, yang dibawa oleh
empat pemuda juga. Disamping pembawa Buceng Ageng dan Buceng Purak
tersebut ada pembawa Tumbak, dan juga Payung. Disetiap Buceng ada yang
memayunginya kanan dan kiri. Dan dibagian belakangnya ada gadis yang
berjumlah sepuluh, dan dibarisan paling belakang ada lima anak laki – laki yang
membawa panji - panji.
Setelah sampai didepan ditempat upacara, kemudian berhenti disana.
Setelah itu pipinan rombongan menyampaikan laporan bahwa Buceng siap untuk
dilarung. Setelah laporan diterima, kemudian Buceng Ageng dan Buceng Purak
dibawa masuk dan diletakan ditempat yang sudah disediakan.
Setelah itu camat Ngebel menyampaikan sambutan, melaporkan semua
kegiatan yang dilakukan oleh segenap warga Ngebel untuk persiapan Larung
Risalah Do’a. Kemudian sambutan dari Bupati, pada saat itu diwakili oleh wakil
Bupati. Setelah selasai dilanjutkan dengan do’a. Kemudian dilanjutkan dengan
tarian lagi, yang dibawakan oleh sembilan perempuan yang berada dibarisan
depan buceng Ageng tadi. Tarian tersebut adalah tarian Tolak Balak, yang
dimaksudkan agar dalam pelaksanaan larung Risalah Do’a lancar tanpa adanya
suatu halangan.
Setelah tari Tolak Balak tersebut selesai kemudian acara Larung Risalah
Do’a dimulai, yaitu dengan membawa Buceng Ageng dan Buceng Purak ke mobil
yang sudah dihias sedemikian rupa, setelah berada dimobil baru Buceng Ageng
dan Buceng Purak dibawa mengelilingi telaga. Sebenarnya dulu saat membawa
Buceng Ageng dan Buceng Purak dilakukan dengan jalan kaki, namun sekarang
diganti dengan menggunakan mobil, karena mengingat jalan pinggir telaga yang
jauh, yaitu sejauh 5 km. Dan juga kalau dengan jalan kaki memakan waktu yang
lama.
Sementara buceng Ageng dan Buceng Purak dibawa keliling telaga,
ditempat upacara pemberanggkatan tadi ada pertunjukan asli Ponorogo, yaitu
Reyog Ponorogo. Tepat pada saat pertunjukan Reyog berakhir, rombongan
buceng Ageng dan Buceng Purak sanpai ditempat juga. Sesampainya disana
Buceng Ageng tersebut langsung dibawa ke dermaga telaga. Dan buceng Purak,
dibawa ketengah – tengah penonton, kemudian diperebutkan oleh para
penonton, mereka percaya bila mendapatkan barang dari Buceng Purak tadi bisa
mendapat berkah dari Yang Maha Kuasa.
Didermaga telaga sudah ada prahu kecil yang terbuat dari bambu, yaitu
yang disebut dengan Gethek Buceng Ageng dan juga Risalah Do’a ditaruh diatas
perahu, dan kemudian didorong dengen berenang oleh Bapak sagun juga, namun
pada acara Larung Risalah Do’a kali ini dibantu oleh empat orang perenang.
Seteleh sampai ditengah telaga, kemudian mereka berhenti, dan Bapak Sagun
naik ke perahu dan mulai menenggelamkan Risalah Do’a dan juga menggulingkan
Buceng Ageng tersebut, setelah tenggelam baru para perenang tadi kembali ke
dermaga namun tidak menggunakan Gethek lagi, melainkan dengan cara
berenang sampai pinggir. Karena menurut kepercayaan memang harus begitu.
Sebelum para perenang tadi sampai pinggir telaga, penontonpun belum beranjak
untuk pulang. Setelah para perenang sampai dipinggir, baru penonton bubar dan
beranjak pulang.
Bupati Beserta Jajaran menuju Kecamatan Ngebel, dan kemudian menuju
ke Kecamatan Ngebel dan setelah beberapa saat pulang juga. Setelah itu
dilapangan kecamatan ngebel ada pertunjukan Musik Dangdut, sampai selesai.
Dan rangkaian acara larung Risalah Do’a berakhir. Rangkaian acara Grebeg Suro
tahun 2008 di Ponorogo berakhir. Masyarakat Ngebel berharap dengan sudah
diadakanya Larung Risalah Do’a telaga Ngebel kembali tenang, tidak ada lagi
kecelakaan yang memakan korban jiwa lagi.
0 komentar:
Posting Komentar