This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 09 Oktober 2019

Tradisi Unik Mapasilaga Tedong, Tana Toraja, Indonesia

Indonesia tidak kalah dengan adu banteng yang ada di Spanyol. Kita juga mempunyai adu kerbau yang sama halnya dengan adu banteng yang ada di Spanyol yaitu Mapasilaga Tedong yang merupakan tradisi unik di Tana Toraja.

Tana Toraja merupakan salah satu tempat wisata yang paling terkenal dan paling sering dikunjungi oleh para tourism yang ada di Sulawesi Selatan. Biasanya para turis datang ke tempat ini tidak lain tidak bukan adalah untuk melihat beberapa keunikan di Tana Toraja ini. Salah satunya adalah Mapasilaga Tedong yang akan kita bahas lebih dalam saat ini.


Mapasilaga tedong adalah tradisi unik para leluhur Tana Toraja yang rutin dilakukan pada saat upacara pemakaman orang yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, yang biasa mereka sebut sebagai Rambu Solo. Acara Mapasilaga Tedong ini dilakukan sebelum upacara adat di mulai. Puluhan kerbau yang akan diadu dibariskan di lapangan tempat upacara akan dilaksanakan. Kerbau-kerbau yang akan diadu tersebut kemudian diarak dengan didahului oleh tim pengusung gong, pembawa umbul-umbul, dan sejumlah wanita dari keluarga yang berduka ke lapangan yang berlokasi di rante (pemakaman). Pada saat barisan kerbau meninggalkan lokasi, musik pengiring akan dimainkan. Irama musik tradisional tersebut berasal dari sejumlah wanita yang menumbuk padi pada lesung secara bergantian.


Pihak keluarga yang menyelenggarakan Mapasilaga Tedong harus daging babi bakar, rokok dan tuak kepada pemandu kerbau dan para tamu yang datang. Arena adu kerbau harus ditempatkan di sebuah sawah yang luas dan berlumpur atau direrumputan. Untuk Mapasilaga Tedong tidak memakai kerbau yang sembarangan, mereka hanya menggunakan tiga jenis Kerbau yang akan di adu di Mapasilaga Tedong yaitu Kerbau bule atau kerbau albino, kerbau lumpur (hanya ada di Tana Toraja), Kerbau Salepo yang punya bercak hitam di punggung dan Lontong Boke yang memiliki punggung berwarna hitam.

Mapasilaga Tedong dimulai dengan dua kerbau yang diadu dan mereka menghantamkan tanduk mereka ke tanduk lawannya dan saling menjatuhkan satu sama lain. Kerbau yang dinyatakan kalah adalah kerbau yang berlari dari arena Mapasilaga Tedong. Selain itu, ada juga prosesi pemotongan kerbau ala Toraja. Prosesi ini adalah menebasan kepala Kerbau dengan sebuah Parang yang dilakukan dalam sekali tebasan saja.

Bagi masyarakat toraja, Kerbau merupakan hewan yang suci. Dan kerbau yang digunakan untuk Mapasilaga Tedong adalah kerbau yang harganya mencapai ratusan juta rupiah.

Sumber : indonesianunik.wordpress.com

Estetika Sebuah Gamelan

Mendengar kata ”gamelan”, kesan pertama yang muncul pasti, ”Ihh… zadul banget sih. Mana suaranya monoton, hanya tang–tong–tang–tong, enggak jelas! Kalau main gamelan, gua bisa dianggap kuno.” Sabar dulu! Jangan sampe kita ketinggalan informasi sampai enggak mengenal kebudayaan bangsa sendiri.


Sebagai generasi muda, kita wajib mengenal kebudayaan kita. Salah satunya, ya gamelan ini. Gamelan adalah kumpulan alat musik dengan nada pentatonis yang terdiri dari kendang, bonang, demung, saron, dan gong. Gamelan dalam bahasa Jawa berasal dari kata ”gamel” yang berarti menabuh atau memukul. Kata ini diikuti akhiran -an yang menjadikannya sebagai kata benda. Secara sederhana, gamelan dimaknai sebagai alat musik yang cara memainkannya dengan dipukul.

Menurut mitologi Jawa, gamelan diciptakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka. Dulu, banyak orang menganggap dialah yang menjadi penguasa seluruh Tanah Jawa. Awalnya cuma ada gong yang berfungsi untuk memanggil para dewa. Jika diruntut dari sejarahnya, kemunculan gamelan tidak lepas dari pengaruh budaya Hindu-Buddha di Indonesia yang banyak memberi dampak dalam pembentukan kebudayaan Indonesia, termasuk instrumen alat musiknya yang khas.

Bukti asli tentang keberadaan gamelan ditemukan di Candi Borobudur pada abad ke-8. Pada relief candi terdapat gambar suling bambu, lonceng, kendhang, dan alat musik berdawai yang juga merupakan bagian dari instrumen musik gamelan. Gamelan sang penghibur Oiya, jangan dikira jenis gamelan cuma ada satu, gamelan jawa. Ada juga jenis gamelan lain, seperti gamelan bali, gamelan sunda, gamelan banyuwangi, dan masih banyak lagi. Alat musik gamelan ini pun tidak dimainkan secara individual, tapi bersama- sama sehingga membutuhkan kerja sama dan keselarasan dalam bermain.

Menurut pandangan orang Jawa, irama yang dibentuk dari gamelan mengajak manusia untuk memelihara keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, serta keselarasan berbicara dan bertindak. Memang benar, memainkan gamelan banyak manfaatnya. Lewat gamelan kita bisa makin akrab dan saling kerja sama satu sama lain. Kalau kita bergabung dengan sanggar gamelan, kita malah bisa dapat teman baru. Gamelan juga melatih kepekaan dan rasa solidaritas. Gara-gara gamelan kita jadi enggak egois lagi. Soalnya, kalau mau main gamelan, suaranya harus harmonis. Ada yang memang jatahnya bermain keras, tapi ada juga yang harus pelan. Harmoni suara gamelan yang teratur itu membuat suara gamelam makin enak didengar.

Guru besar karawitan (seni musik gamelan) dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Prof Dr Rahayu Supanggah, sering sekali menampilkan kelompok gamelannya di luar negeri. Seperti beberapa waktu lalu, dia tampil menggelar Opera Java di Amsterdam, Belanda. Dari situ masyarakat di luar negeri bisa mengenal gamelan. Sampai ada yang ingin sekali belajar cara bermain gamelan. Pak Supanggah ini ternyata juga pernah mengenalkan gamelan kepada para tahanan penjara. Meski awalnya sulit diajak bekerja sama, lama-lama mereka luluh dan mau bekerja sama karena ingin merasakan asyiknya main gamelan. ”Melalui gamelan orang bisa menghilangkan sifat brutal, menambah kreativitas, dan memupuk kerja sama.


Gamelan sekarang sudah multiguna,” ujar Bapak Supanggah. For your info MuDAers, di Amerika Serikat sudah ada 500 perangkat gamelan, di Inggris dan Jepang ada sekitar 100 perangkat gamelan. Di Australia, Jerman, Perancis, dan Singapura hampir setiap sekolah dasar memiliki gamelan. Indonesia seharusnya jangan sampai kalah agar gamelan tidak diambil alih bangsa lain. Gamelan Kontemporer Memang, kalau dilihat-lihat, gamelan terkesan tua. Tapi sekarang gamelan sudah berkembang jadi ”gamelan kontemporer”. Gamelan bisa dikolaborasikan dengan alat musik lain, seperti alat-alat band, orkestra, dan lainnya. Intinya, gamelan bukan hanya jadi alat untuk menampilkan tradisi saja, tapi juga menjadi alat musik yang mampu menghasilkan bunyi seperti yang kita inginkan.

Mas Djaduk Ferianto, salah satu pemusik gamelan kontemporer, pernah mengatakan kalau gamelan kontemporer inilah yang dikembangkan untuk menarik minat remaja Indonesia agar mulai mencintai gamelan. Karena bisa dikolaborasikan dengan alat musik lain, akan muncul kombinasi baru dari suara gamelan. Hal ini malah membuat gamelan makin keren. Gamelan enggak lagi kelihatan kuno, malah jadi alat musik yang up to date. Lewat alat ini, bukan cuma tradisi gamelan aja yang makin berkembang, tapi kita juga bisa belajar mencintai dan melestarikan kebudayaan Indonesia. So, cintailah kebudayaan Indonesia dengan mencintai gamelan.


Mari menabuh gamelan! (Tim MuDA SMA Seminari Mertoyudan, Magelang : Dion Lintang, Lanang Putro, Agiornamento Saintio, Dian Kurniawan, Bondika Widyaputra, Nikolaus Harbowo)

1. Bapak FX Purwandi (guru karawitan) Melalui gamelan secara tidak langsung kita juga mengembangkan kebudayaan. Kalau dikaitkan dengan kaum muda saat ini, cara melestarikan gamelan ya melalui lembaga pendidikan. Siswa awalnya tidak suka. Tapi, ketika sudah mencoba, jadi suka dan ingin mengembangkannya. Perlu diketahui, gamelan bisa membantu seseorang berolah rasa sehingga dapat mengolah kepribadian, mengasah kepekaan, dan membentuk karakter diri yang khas.
2. Agustinus Kartono (siswa SMA Seminari Mertoyudan, Magelang) Aku kenal gamelan sejak kelas dua SD. Aku mencintai gamelan karena sekolahku punya kelas untuk belajar setelah kelompok gamelan sekolahku menang kejuaraan. Sejak itu aku terus menekuni dan mencintai gamelan sampai sekarang. Pokoknya gamelan itu hidupku. Aku belajar kesabaran lewat gamelan.
3. Joshua Giri Winarto (siswa SMA Seminari Mertoyudan, Magelang) Aku belum pernah memainkan gamelan. Tapi waktu dengar suara gamelan yang maknyesss itu, aku jadi pengin merasakan enaknya memainkan gamelan. Pasti asyik.
4. Agustina Dhevin Merinda (siswi SMA Tarakanita, Magelang) Ngomongin gamelan sama saja ngomongin hal yang membosankan. Tapi aku tertarik dengan gamelan yang dikolaborasikan dengan alat-alat band. Ini baru keren. Walau aku enggak begitu suka dengan gamelan, tapi gamelan harus tetap dijaga dan dilestarikan.


1. Sadari bahwa kita punya aset berharga bernama gamelan. Ada satu fenomena janggal tentang gamelan, ketika gamelan kurang diminati kaum muda Indonesia, orang-orang di negeri lain malah mengagumi dan mempelajari gamelan. Kalau seperti ini terus, apakah di masa depan kita harus belajar gamelan dari negeri lain? Heeii, gamelan adalah salah satu kebudayaan kita yang paling khas. Wajar kalau kita harus memelihara dan melestarikan aset berharga ini.
2. Jangan negative thinking dulu kalau dengar kata gamelan Kalau mendengar kata gamelan, kebanyakan dari kita pasti berpikir tentang musik zadul. Padahal, gamelan juga bisa digunakan untuk memainkan lagu pop yang akrab di telinga kita. Apalagi sekarang ada gamelan kontemporer.
3. Kalau ada ekskul gamelan, jangan ragu untuk gabung. Mungkin kita merasa malu ikut ekskul gamelan di sekolah. Takut dikatain cupu, kuper, dan sebagainya. Padahal, gamelan enggak kalah sama alat musik lain, lho. Kalau mau mencoba sensasi yang lain, coba kolaborasikan gamelan dengan alat musik lain. Pasti seru.
4. Bikin acara yang melibatkan gamelan. Akhir-akhir ini banyak banget sekolah yang menggelar event seperti pensi. Daripada isinya cuma band-band saja, coba sajikan gamelan sebagai salah satu alat musiknya. Hitung-hitung cari suasana dan inovasi baru. Jadi, kita juga bisa sekaligus memopulerkan gamelan sama orang-orang yang datang.
5. Berani mencoba Dari semua uraian di atas, yang terpenting kita harus mencoba main gamelan dulu. Kalau kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah kamu.…

Sumber : Kompas.com

Sakralitas Ari-Ari bagi Orang Jawa




Ari-ari atau plasenta bagi orang Jawa tidak sekadar dipahami sebagai sesuatu yang keluar mengiringi kelahiran bayi. Keberadaannya dipercaya terus memiliki hubungan dengan bayi, bahkan ketika dewasa hingga meninggal dunia. Karena itu, masyarakat Jawa memberikan perlakuan khusus terhadap ari-ari bayi.


Perlakuan seperti mencuci bersih terlebih dahulu ari-ari sebelum dikuburkan. Berdasarkan informasi Clifford Geertz, ibu bayi juga memantrainya, membungkusnya dengan kain putih, dimasukkan kendi dan digarami (Geertz, 2014: 52). Sumber lain menyebutkan, kendi tersebut juga diberi alas kain mori. Dimaksudkan agar kelak nantinya anak tidak hanya memikirkan hal duniawi saja.


Mengubur ari-ari itu sendiri juga menggunakan istilah nandhur ari-ari. Bagi orang Jawa hal tersebut memiliki makna filosofis sebagai perwujudan harapan. Harapan agar kelak berbuah kebaikan untuk si bayi. Nandhur juga dimaknai agar si bayi ke depannya hidup dan berkembang.


Tidak hanya itu, saat menguburkannya diberikan pula sesaji ulu wetu ing bumi. Sesaji ini berisi kembang boreh, garam, bawang merah, bawang putih, gula, sedikit kelapa, pensil, dan buku. Keberadaan sesaji ini, khususnya agar ari-ari tidak mengeluarkan bau amis dan mengundang hewan liar. Sedangkan pensil dan buku sebagai simbol agar kelak si anak tumbuh dengan cerdas. Semua barang tersebut dikubur di dekat rumah bersama ari-ari.



Tempat nandhur ari-ari bayi, menurut Clifford Geertz berbeda antara bayi laki-laki dan perempuan. Jika bayi laki- laki di depan rumah dan bayi perempuan di belakang rumah. Meskipun ada yang mengubur ari-ari bayi laki-laki di sebelah kiri pintu dan perempuan di sebelah kanan pintu (Geertz, 2014: 52).


Nandhur ari-ari biasa dilakukan sendiri oleh sang ayah, kakek, atau saudara laki-laki lain yang dekat dengan bayi. Sebelum menguburkan ari-ari, disarankan agar mandi besar untuk menyucikan diri.


Saat prosesi tersebut, ayah si bayi juga membacakan doa. Bertujuan mendapatkan selamat dan sebagai rasa syukur kepada sang pencipta. Doa yang biasa di bacakan, “Kowe iki anakku, yo kuwi sadulure tuwo jabang bayine, reksanen, emongen sadulurmu enom/jabang bayine.”



Doa lebih panjang saat menguburkan ari-ari dalam Clifford Geertz:


Dengan nama Tuhan, yang Maha Pengasih dan Penyanyang!


Bapak Bumi, Ibu Pertiwi,


Saya akan serahkan kepadamu tali pusar dan ari-ari bayi.


Tetapi sang bayi saya tinggalkan (saya tidak menguburnya),


Hanya tali pusar yang saya serahkan kepada perlindunganmu.


Jangan kau risaukan sang bayi,


Ini sudah jadi keharusan karena Allah.


Kalu kau risaukan juga bayi itu, kau akan dihukum Tuhan.


Usirlah penyakit dari si bayi,


Ini pun sudah jadi keharusan karena Allah.


Tali pusar, saya serahkan kau pada perlindungan seseorang,


Bayi kecil, jangan kau lawan bapakmu,


Atau kau akan dihukum oleh Allah.


Setelah dikuburkan, diberikan penutup. Pada zaman dulu, dipagari dengan bambu dan ditutup dengan jambangan yang sudah pecah. Dimaksudkan agar tidak dibongkar oleh binatang buas. Selain itu diberi lampu kecil, dinyalakan selama 35 hari. Bertujuan sebagai penerang hidup bagi si bayi dan menjaga dari gangguan makhluk halus.




Masyarakat Jawa juga mengkaitkan keadaan bayi dengan ari-ari. Seperti tidak boleh menguburnya terlalu dalam. Menurut kepercayan masyarakat Jawa, ari-ari yang ditanam terlalu dalam dapat membuat bayi sulit berbicara. Ada juga, bayi yang terkena sesak napas, karena ari-ari tertimbun sesuatu.


Ari-ari juga dianggap sebagai saudara bagi bayi. Disebut sebagai adi ari-ari, karena keluar setelah bayi. Melindungi bayi saat di dalam kandungan. Ilmu kedokteran juga menyebutkan bahwa ari-ari atau plasenta merupakan salah satu organ penting bagi bayi. Karena keberadaannya sebagai sarana yang menyediakan nutrisi serta oksigen.


Setelah bayi lahir, ari-ari menjadi saudara spiritual, merupakan bagian dari sedulur papat lima pancer. Keberadaannya menjadi pemberi petunjuk. Sebelumnya, ada kakang kawah, air ketuban yang mendahului kelahiran bayi. Kakang kawah dipercayai sebagai petunjuk yang identik dengan hal-hal yang bersifat baik. Sedangkan, adi ari-ari identik dengan hal-hal yang bersifat buruk atau nakal.


Ari-ari dan sedulur lainnya, bagi orang Jawa, juga dipercaya sebagai sumber kekuatan spiritual. Memungkinkan seseorang memiliki kemampuan menyembuhkan, berdagang dan percintaan (Geertz, 2014: 501). Untuk mendapatkan kekuatan tersebut, orang Jawa biasa melakukan yang namanya tapa, dengan jalan memusatkan pikiran, berpuasa atau begadang.



Bisa juga menggunakan mantra untuk meminta bantuan dari sedulur tersebut. dengan membaca dalam hati,” Marmarti kakang Kawah adhi Ari-ari Getih Puser, kadang-ingsun papat kalima pancer, kadangingsun kang ora katon lan kang ora karawatan, sarta kadangingsun kang metu saka margaina lan kang ora metu saka margaina, miwah kadangingsun kang metu barengan sadina kabeh, bapanta ana ing ngarep, ibunta ana ing wuri, ayo pada ……. (pekerjaan atau aktivitas yang sedang dilakukan).


Sebelum datang kematian, bagi orang Jawa, ada juga kepercayaan meruwat para sedulur tersebut. Agar nantinya tidak menghambat saat di alam kubur. Meruwatnya melalui doa, ”Ingsun angruwat kadangingsun papat kalima pancer kang dumunung ana ing badaningsun dhewe, Marmarti kakang Kawang adhi Ari-ari, Getih, Puser; kadangingsun kang ora katon lan ora karawatan, utawa kadangingsun kang metu saka ing margaina lan kang ora metu saka ing margaina, sarta kadangingsun kang metu barengan sadina, kabeh padha sampurna-a nirmala waluya ing kahanan jati dening kawasaningsun.”


Kepercayaan ini menjadi bukti, cara masyarakat Jawa memandang dunianya. Hingga suatu saat menjadikannya sebagai sarana menemukan kesejatian diri.


Selasa, 08 Oktober 2019

Kiasan Sebuah Keris

Cerita rakyat yang berkembang dari mulut ke mulut dan menjadi legenda pada umumnya menceritakan sebuah keadaan atau peristiwa yang terjadi pada jaman dahulu. Demikian pula halnya dengan kisah keberadaan beberapa buah keris yang konon dibuat pada waktu yang berdekatan.


Kisah keris Naga Sasra, Sabuk Inten, Sengkelat dan Condong Campur yang menurut ceritanya dibuat pada jaman Prabu Brawijaya V di akhir kerajaan Majapahit ini pun sebenarnya mengandung cerita tentang kondisi sosial masyarakatnya. Ada sesuatu hal yang ingin disampaikan tetapi dengan cara tidak berterus terang. Dalam istilah jawanya disebut sanepan atau kiasan.

Keris Naga Sasra yang juga disebut Naga Sisik Sewu itu melambangkan kondisi kerajaan Majapahit yang waktu itu sangat heterogen. Berbagai etnis dan agama bercampur jadi satu masyarakat yang mendiami bumi yang sekarang kita sebut nusantara ini. Selain menggambarkan kondisi sosial masyarakatnya, keris ini juga melambangkan seorang penguasa dan bahwa penguasa itu harus mampu mengayomi semua golongan yang ada di dalam masyarakat yang sudah sangat kompleks itu.

Keris Naga Sasra

Keris Sabuk Inten itu adalah perlambang bagi orang-orang yang menjadi elit ekonomi dan bangsawan yang kaya raya.

Keris Condong Campur melambangkan adanya kehendak para mpu atau orang-orang yang pandai yang menginginkan adanya percampuran diantara penduduk Majapahit. Ingin adanya kehidupan sosial yang hamonis antara satu sama laiannya di dalam masyarakat yang heterogen. Tak ingin adanya sekat-sekat dan pertentangan antara golongan yang satu dengan golongan yang lain.

Keris Condong Campur

Keris Sengkelat yang dibuat pada jaman itu tidak berpamor, atau biasanya disebut keris kelengan. Hal ini untuk melambangkan rakyat jelata atau rakyat pada umumnya. Nama sengkelat ini berasal dari kata sengkel atine atau jengkel hatinya.

Keris Sengkelat

Kisah pertempuram antara keris Kyai Sabuk Inten melawan Kyai Condong Campur dan antara Keris Kyai Condong Campur melawan Kyai Sengkelat, sebenarnya menceritakan tentang permusuhan antara para elit bangsawan dan elit ekonomi melawan para mpu atau kaum . Sementara itu sang raja atau penguasa yang dilambangkan sebagai keris Kyai Nagasasra tidak bisa berbuat apa-apa.

Dalam kondisi yang demikian maka rakyat pada umumnya yang dalam hal ini dilambangkan sebagai keris Kyai Sengkelat, merasa jengkel dan melawan para cerdik pandai yang hanya ingin mempertahankan status quo kekuasaan raja yang semakin hari makin melemah.

Benar tidaknya kisah kiasan ini tentu masih perlu dikaji lebih lanjut. Akan tetapi fakta menunjukkan bahwa kekuasaan Prabu Brawijaya V di Majapahit itu memang akhirnya surut dan runtuh.

Sumber : Kompasiana.com

Bener Gak Sih? Pengantin Tidak Boleh Mandi Saat Hari Pernikahan, Nanti Hujan.


Nah Loo, Seringkan disekitar kita mendengar ungkapan demikian, baik dari kedua orangtua, sesepuh keluarga, om tante atau teman-teman kita.

“Jangan mandi ya, nanti hujan loh” , Demikian sering disarankan banyak orang kepada kedua calon mempelai agar tidak mandi dihari pernikahan, konon katanya bisa menyebabkan turun hujan.

Well. Kita semua setuju bahwa hari pernikahan adalah peristiwa sekali seumur hidup yang kita inginkan semuanya berjalan dengan baik, Jika terjadi hujan dikhawatirkan banyak hal yang akan memperhambat acara yang berlangsung, terlebih jika kalian merencanakan pesta outdoor seperti pesta kebun, poolside atau ditepi pantai. Pastinya hujan adalah mimpi buruk bagi kebanyakan kita, karena takut semuanya baik dekorasi, dan lainnya berantakan karena hujan, dan tamu yang datang sedikit karena terkendala hujan.

Karena kekhawatiran itulah kita sangat dan amat menginginkan hari pernikahan kita dalam keadaan cuaca yang cerah dan baik.

Hujan atau Cerah sendiri adalah sebuah fenomena alam yang semuanya terjadi secara natural layaknya kita melihat matahari terbit dan tengelam. Namun seiring waktu cuaca kini semakin tidak menentu, kita tidak lagi mengenal musim hujan atau musim kemarau, karena dimusim hujan pun bisa tiba tiba panas dan dimusim kemarau pun bisa tiba-tiba hujan.

Sebuah polemik biasanya muncul ketika pasangan pengantin dipagi hari mendapat banyak pesan kiri-kanan yang menyarankan untuk tidak mandi, karena bisa hujan.

So? Kalau kita mandi apa bener akan turun hujan?

Terlepas mitos atau fakta, hujan bisa datang kapan saja, layaknya keseharian kita, bisa setelah kita mandi mau pergi kerja lalu hujan, bisa juga ketika kita tidak mandi lalu tidak hujan dan sebaliknya.

disela-sela liputan kami meliput pernikahan, seperti biasa kami memulai liputan di sebuah bridal, dimana ketika itu bridal sedang menanggani banyak client bride and groom. Tak heran bridal itu memang salah satu bridal favorit dikota ini.

Iseng-iseng kami mengadakan “Survei” dadakan terkait hal ini.

Padamoto : “Haii Ce , kamu hari ini mandi gak?”

Pengantin 1 : ” Hmm..hehe gak bro! Tar Ujan repot gw.., mending ikutin kata mama papa, daripada tar hujan”

Padamoto : “Haloo Kak, ud mandi belum nih hari ini” tanya kami ke pengantin lainnya

Pengantin 2 : “Hahaha…mandi lah…gak betah saya pakai baju bagus gini terus nanti ketemu banyak orang masa tidak mandi”

well kami sambil membuat catatan kecil..lalu lanjut ke pengantin lainnya.

Padamoto : “Kalau kamu siss?”

Pengantin 3 : “Kaga mandi gw,,takut lah..ikutin ajah”

lalu kami mencoba menuliskan hasilnya dan setelah ditanyakan ternyata tempat resepsi mereka bertiga berdekatan satu sama lain.

Pengantin 1 = Tidak mandi = Tidak Hujan

Pengantin 2 = Mandi = Hujan

Pengantin 3 = Tidak mandi = Tidak Hujan.


lalu dengan penuh canda kami berkata kepada pengantin 1 & 3, hai sis…maaf nih..karena si pengantin 2 tadi mandi, jadi nanti bakal hujan loh..

tiba tiba si pengantin 2 berseru “hahaha asikk gw donk..gpp lah hujan yang penting gw seger dan wangi”

Mandi atau tidak mandi sebenarnya keputusan kita masing masing, hal tersebut berhubungan dengan hujan atau tidak hujanpun tidak bisa kita katakan mitos ataulah fakta, karena hal itu “bergantung” pada situasi yang terjadi, kadang kita mandi eh hujan, kadang kita tidak mandipun hujan.

Terlepas dari itu, hujan atau tidak hujan jangan kita jadikan indikator untuk kebahagiaan hari pernikahaan kita, kami pun pernah meliput pesta pernikahan outdoor namun 1 jam sebelumnya turun hujan deras, dengan penuh ketabahan dan iklas si pengantin berseru “Wah bersyukur turun hujan, lihat setelah ini pasti rumputnya jadi kelihatan segar dan langit penuh bintang”

So..Keep your wedding day Happy!

terlepas itu kemampuan kita adalah merencanakan sebaik-baiknya segala persiapan yang ada.

hasilnya hujan atau tidak bukan lah kita yang menentukan.

Jadi mandi atau tidak mandi nih?

Sumber : padamoto.com

Angklung Jalanan, Penghias Suasana Malioboro


Angklung memang bukanlah alat musik khas Yogyakarta. Namun, di tangan anak-anak muda ini, angklung menjadi daya tarik khusus di sepanjang jalan Malioboro di sore hingga malam hari.

Ketika itu matahari tak terlalu terik, awan pun tak mengandung warna mendung. Di bawah jembatan Badran, sekelompok anak muda tampak menyiapkan seperangkat alat musik dari bambu. Sesekali angklung itu dipukul untuk mengisi kekosongan waktu sambil melakukan pemanasan. Seorang dari mereka beberapa kali mereka menyisir rambutnya agar tetap klimis. Maklum, mereka mau ngamen di jalan Malioboro, tampilannya harus tetap menarik demi memikat penontonnya nanti. Seketika seorang tukang becak menghampiri mereka dan mulai mengangkat semua alat musik tadi dan mendudukkannya dalam kursi becak. Penuh memang, bahkan tak cukup lagi untuk diduduki satu orang pun. Si klimis mulai berinisiatif memanggil 2 becak untuk mengangkut mereka menuju ke jalan Malioboro.

Ya, seperti itulah keseharian mereka. Mengumpulkan semangat sambil bersantai sebelum bekerja. Sebagian besar dari mereka berasal dari daerah Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Purwokerto. Di Yogyakarta mereka mempunyai sebuah paguyuban angklung tradisional bernama “Kridotomo”. Paguyuban ini didirikan sejak tahun 2008.

“Biasanya pada siang hari kami ngamen di selatan pasar Beringharjo, kadang di sore hari kami juga ngamen di depan toko Ramai” kata Joko, salah seorang pemain angklung. Banyak orang tertarik melihat mereka. Suara dentingan angklung dan tabuhan alat musik meresap ke hati. Suara bilah-bilah bambu yang terdengar tak membuat telinga bising, bahkan terdengar nyaman. Biasanya mereka memainkan musik seperti dangdut, campur sari, pop, lagu daerah, dan masih banyak lagi. Dalam sehari mereka bisa memainkan lebih dari 50 lagu.

Angklung memang berasal dari Jawa Barat. Namun, daerah Banyumas mempunyai ciri khas angklung sendiri. Mereka menyebutnya “Angklung Banyumasan” atau “Kenthongan”. Di daerah Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan sekitarnya, setiap kampung pasti punya grup angklung. Terutama pada saat bulan puasamusik ini dipakai untuk membangunkan pada saat sahurdan biasanya dimainkan oleh 30 orang. Pada hari biasa musik ini sering dimainkan pada saat ronda. Pun saat acara kebudayaan, angklung selalu dimainkan. “Lama kelamaan, karena musik ini banyak digemari dan nyaman didengarkan maka orang sana menangkap peluang untuk menyebarkannya ke berbagai kota, salah satunya Yogyakarta dan diterima dengan baik”, kata Supraptyo, pemimpin paguyuban Angklung Kridotomo. Ada yang menyebut Calunk Funky, ada pula yang menyebut Pengamen Angklung, dan ada orang asing yang menyebutnya Malioboro Street angklung.

Ditemani temaram lampu Malioboro; gambang kecil, angklung renteng, marakas, bedug kecil, bedug bass dari, dan cymbal kecil mereka mainkan di sepanjang jalan Malioboro. Memang, ada beberapa grup angklung yang ada di sana, tak hanya grup angklung Kridotomo. Biasanya mereka sudah punya atribut dan seragam masing-masing. Tak ada yang berbeda dari kualitas mereka, semuanya memainkan angklung-angklung itu dengan indah.


Sebuah kardus kosong mereka tempatkan di atas sebuah kursi plastik. Seribu, dua ribu, tak jarang sepuluh ribu rupiah kardus itu mulai terisi. Satu per satu lagu mulai mereka mainkan. Sesekali  mereka bernyanyi bersama-sama. Pengendara mobil dan motor yang melintasi mereka pun menyempatkan untuk melirik, bahkan berhenti sejenak untuk sekedar menikmati sesaat. Pejalan kaki yang melintasi pun tak bisa melewatkan pesona mereka. Dalam setiap penampilan, mereka selalu ditonton layaknya sedang konser. Tak jarang, saking asiknya menikmati, seorang penonton ikut hanyut dalam alunan musik bambu ini dan bergoyang sambil bernayanyi.

Seorang wanita muda tampak sangat menikmati permainan angklung. Sudah banyak yang ia mendengar mengenai permainan angklung di Malioboro. “ Musik seperti ini layak untuk diapresiasi. Wajar saja jika banyak orang yang memberi mereka uang karena materi dan kualitas para pemain angklung ini bukan seperti pengamen yang asal-asalan”, jelasnya dengan terkagum melihat para pemain angklung.

Sering kali grup angklung ini dipanggil untuk mengisi dalam sebuah acara. Mereka sudah memasang tarif untuk setiap penampilannya. 500.000 untuk penampilan selama satu jam, tampaknya adalah harga yang pantas. Barangkali Anda juga ingin menikmatinya? Silakan datang atau mengundang mereka.

Sumber : kompasiana.com

Jejak Masa Lalu Sirih dan Pinang

Tradisi nyirih kini hanya tersisa dalam sebuah masyarakat tradisional, yang notabene sedikit terpapar oleh proyek modernitas atau proses pembaratan secara intensif. Tradisi nyirih memberikan hikmah tentang perjalanan proses keterputusan dan sekaligus kesinambungan sebuah tradisi dari masa lalu.

Jejak Masa Lalu Sirih dan Pinang Daun Sirih. Sumber foto: Istimewa
Sekalipun kini tradisi mengunyah sirih hanyalah fenomena kecil di tengah-tengah masyarakat, bagi yang pernah mengunjungi pelosok-pelosok negeri--dari Sumatra, Sulawesi, ataupun Indonesia bagian timur seperti Nusa Tenggara Timur hingga Papua--bisa dipastikan masih akan ditemui kebiasaan ini.

Budaya mengunyah sirih yang sering disebut dalam banyak bahasa daerah, antara lain, "nyirih", "nginang", "bersugi", "bersisik", "menyepah", atau "nyusur", setidaknya hingga kini masih terlihat lazim dilakukan oleh generasi tua, baik laki-laki maupun perempuan, di sejumlah daerah.

Belum diketahui asal-usulnya secara pasti. Konon, tradisi mengkonsumsi sirih dan pinang telah dimulai sejak zaman neolitikum. Sekitar 3.000 tahun yang lalu, hal itu sudah menjadi kebiasaan masyarakat Asia Tenggara.

Ada pendapat yang beranggapan jika tradisi itu berasal dari India. Namun pandangan lain menyebutkan, tradisi ini kemungkinan berasal dari kepulauan Nusantara. Ini didasarkan pada asumsi, pinang dan sirih sendiri diduga kuat ialah tanaman asli di kepulauan Indonesia.

Selain itu, juga menyimak pentingnya posisi nyirih bagi orang Indonesia terlihat mencapai tingkatan yang lebih dalam ketimbang di daerah lain di seputar Asia. Hal ini tercermin dari hadirnya tradisi nyirih dalam hampir semua ritual. Bahkan menurut catatan Anthony Reid (2018), dari ritual kelahiran, inisiasi kedewasaan, perkawinan, hingga kematian; dari ritual dan praktik penyembuhan, hingga ritual persembahan kepada roh leluhur.


Boleh dikata, di masa lalu mengunyah sirih atau nyirih di Indonesia bukanlah soal preferensi individual, melainkan keniscayaan dari ritus sosial bagi setiap orang dewasa. Tidak menawarkan sirih, atau menolak nyirih saat ditawari, bahkan akan dicap sebagai penghinaan.

Menariknya, di sepanjang daerah di Indonesia bicara bahan untuk menyirih pun nisbi serupa. Secara umum ada tiga unsur utama dari bahan nyirih, yakni pinang, daun sirih, serta kapur sirih yang dalam bahasa Indonesia biasa disebut "injet", yang terkadang bahan ini didapatkan dari melumat cangkang kerang.

Yang bisa dikata membedakan tradisi ini di pelbagai wilayah di Nusantara ialah berupa kepercayaan-kepercayaan yang menyertai tradisi itu. Namun, terlepas dari perbedaan itu, pinang dan sirih sejak ribuan tahun tampaknya telah dimuliakan dalam kebudayaan-kebudayaan lokal Indonesia.

Simak video bersirih berikut ini !

Senin, 07 Oktober 2019

Tedak Siten: Ritual adat turun tanah pertama kali seorang bayi

Tedak siten merupakan budaya warisan leluhur masyarakat Jawa untuk bayi yang berusia sekitar tujuh atau delapan bulan. Tedak siten dikenal juga sebagai upacara turun tanah.

‘Tedak’ berarti turun dan ‘siten’ berasal dari kata ‘siti’ yang berarti tanah. Upacara tedak siten ini dilakukan sebagai rangkaian acara yang bertujuan agar anak tumbuh menjadi anak yang mandiri.

Tradisi ini dijalankan saat anak berusia hitungan ke-tujuh bulan dari hari kelahirannya dalam hitungan pasaran jawa. Perlu diketahui juga bahwa hitungan satu bulan dalam pasaran jawa berjumlah 36 hari. Jadi bulan ke-tujuh kalender jawa bagi kelahiran si bayi setara dengan 8 bulan kalender masehi.


Bagi para leluhur, adat budaya ini dilaksanakan sebagai penghormatan kepada bumi tempat anak mulai belajar menginjakkan kakinya ke tanah. Dalam istilah jawa disebut tedak siten.

Selain itu juga diiringi doa-doa dari orangtua dan sesepuh sebagai pengharapan agar kelak anak sukses menjalani kehidupannya.
Rangkaian acara Tedak siten

Prosesi tedak siten dimulai di pagi hari dengan serangkaian makanan tradisional untuk selamatan. Makanan tradisional tersebut berupa ‘jadah’/’tetel’ tujuh warna.

Makanan ini terbuat dari beras ketan dicampur parutan kelapa muda dan ditumbuk hingga bercampur menjadi satu dan bisa diiris. Beras ketan tersebut diberi pewarna merah, putih, hitam, kuning, biru, jingga dan ungu.

Jadah ini menjadi simbol kehidupan bagi anak, sedangkan warna-warni yang diaplikasikan menggambarkan jalan hidup yang harus dilalui si bayi kelak. Penyusunan jadah ini dimulai dari warna hitam hingga ke putih, sebagai simbol bahwa masalah yang berat nantinya ada jalan keluar / titik terang.

Makanan tradisional lainnya yang disediakan untuk acara tedak siten ini berupa tumpeng dan perlengkapannya serta ayam utuh.


Tumpeng sebagai simbol permohanan orang tua agar si bayi kelak menjadi anak yang berguna. Sayur kacang panjang sebagai simbol umur panjang. Sayur kangkung sebagai simbol kesejahteraan. Kecambah sebagai simbol kesuburan, sedangkan ayam adalah simbol kemandirian.

Setelah acara selamatan dengan mengumpulkan para undangan telah dibagikan, rangkaian acara tedak siten dilanjutkan dengan prosesi menapakkan kaki bayi di atas jadah 7 warna.

Selanjutnya adalah prosesi naik tangga. Tangga tradisional yang dibuat dari tebu jenis ‘arjuna’ dengan dihiasi kertas warna-warni. Ritual ini melambangkan harapan agar si bayi memiliki sifat kesatria si Arjuna (tokoh pewayangan yang dikenal bertanggungjawab dan tangguh). Dalam bahasa Jawa ‘tebu’ merupakan kependekan dari ‘antebing kalbu’ yang bermakna kemantaban hati.
Tedak siten prediksi masa depan anak

Prosesi selanjutnya adalah prosesi di mana bayi dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang telah dihias dengan kertas berwarna warni. Prosesi ini menyimbolkan kelak anak akan dihadapkan pada berbagai macam jenis pekerjaan.

Jika kurungan ayam besar prosesi selanjutnya bisa dilakukan di dalam kurungan. Tetapi seringkali agar anak merasa lebih leluasa, prosesi selanjutnya dilakukan di luar kurungan.


Bayi dihadapkan dengan beberapa barang untuk dipilih seperti cincin/uang, alat tulis, kapas, cermin, buku, dan pensil. Kemudian dibiarkan mengambil salah satu dari barang tersebut. Barang yang dipilihnya merupakan gambaran hobi dan masa depannya kelak.

Selanjutnya Bunda menebarkan beras kuning (beras yang dicampur dengan parutan kunir) yang telah dicampur dengan uang logam untuk di perebutkan oleh undangan anak-anak. Ritual ini dimaksudkan agar anak memiliki sifat dermawan.

Rangkaian prosesi tedak siten diakhiri dengan memandikan bayi ke dalam air bunga setaman lalu dipakaikan baju baru.

Prosesi pemakaian baju baru inipun dengan menyediakan 7 baju yang pada akhirnya baju ke-7 yang akan dia pakai. Hal ini menyimbolkan pengharapan agar bayi selalu sehat, membawa nama harum bagi keluarga, hidup layak, makmur dan berguna bagi lingkungannya.

Semoga penjabaran tentang ritual tedak siten ini bisa memperluas pengetahuan tentang nilai-nilai luhur budaya leluhur bagi para generasi penerus.

Sumber : theasianparent.com

Minggu, 06 Oktober 2019

Ruwatan Sukerta, Ritual Kuno Buang Sial di Masyarakat Jawa


Dalang Ki Lebdo Pujonggo memimpin prosesi ruwatan massal. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

SOLO, Indonesia — Pagi menjelang siang itu, sekitar 300 orang berjalan berarakan dari Dalem Suryahamijayan menuju menuju Kagungan Dalem Sasana Mulya di Komplek Keraton Surakarta. Anak-anak hingga lanjut usia mengenakan busana serba putih berbalut kain dan ikat kepala dari kain mori polos.

Mereka akan mengikuti ruwatan sukerta, sebuah ritual kuno pembersihan diri yang sudah dikenal masyarakat Jawa jauh sebelum masuknya agama-agama samawi di Indonesia. Ruwatan massal gratis ini digelar oleh Direktorat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bekerja sama dengan Keraton Kasunanan.

Di pendapa Sasana Mulya, pakeliran (layar) wayang kulit dibentangkan lengkap dengan susunan gamelan dan para penabuh gamelan beserta pesinden. Pintu masuknya berhias janur kuning, tandan pisang, dan daun beringin seperti dalam acara pernikahan.

“Siraman air merupakan prosesi untuk membersihkan diri dari sukerta–kotoran jiwa, aura negatif, dan spirit jahat. Sukerta disebabkan karena dosa yang jadi penghalang kesuksesan atau penyebab hidup seseorang jadi gelisah.”
Setiap orang harus berbaris memasuki pintu itu lalu duduk lesehan di pendapa dengan tenang, tak boleh makan atau bermain ponsel selama prosesi. Di depan mereka sudah tertata ubo rampe (perlengkapan ritual) ruwatan, dari mulai ternak unggas hingga perabot rumah tangga.

Di bilik penyucian, beberapa abdi dalem perempuan berkebaya hitam dan berkain jarik bersila di lantai sambil membakar kemenyan dan aneka wewangian di atas tungku kecil hingga aroma dan asap pekatnya memenuhi ruangan. Tembang Jawa yang dilantunkan pesinden tanpa iringan gamelan menambah suasana semakin mistis.

Satu per satu peserta ruwatan memasuki bilik untuk menjalani pembersihan. Ki Lebdo Pujonggo Harimurti, dalang yang memimpin ritual, membacakan doa dan menuangkan air kembang setaman ke atas kepala setiap orang yang diruwat. Air untuk siraman diambil dari berbagai sumber mata air yang dianggap suci, di antaranya Gunung Semeru, Sumur Jolotundo Gunung Lawu, Masjid Agung Surakarta, dan Sumur Kadilangu Demak.

Siraman air ini merupakan prosesi untuk membersihkan diri dari sukerta–kotoran jiwa, aura negatif, dan spirit jahat. Sukerta bisa disebabkan karena dosa dan kesalahan masa lalu yang menjadi penghalang kesuksesan atau menyebabkan hidup seseorang menjadi gelisah.

Ada juga sukerta yang dibawa oleh seseorang sejak lahir. Menurut kepercayaan Jawa, beberapa anak sukerta yang butuh diruwat antara lain:
  • Ontang-anting (anak tunggal)
  • Pancuran kapit sendang (tiga anak, laki-laki di tengah)
  • Sendang kapit pancuran (tiga anak, perempuan di tengah)
  • Uger-uger lawang (dua anak laki-laki)
  • Kembang sepasang (dua anak perempuan)
  • Kendhana kendhini (dua anak, laki-laki dan perempuan)
  • Pendhawa (anak lima, laki-laki semua)
  • Mancalaputri (anak lima, perempuan semua)
  • Anak kembar
Ada pula anak yang perlu diruwat terkait dengan kondisi saat lahir, misalnya:
  • Julung wangi (lahir saat matahari terbit)
  • Julung pujud (lahir saat matahari terbenam)
  • Julung sungsang (lahir tengah hari)
  • Tiba sampir (lahir berkalung plasenta)
  • Lawang menga (lahir saat candikala, saat langit berwarna merah kekuningan)
Orang yang terlahir dengan sukerta, dalam kepercayaan Jawa, harus menjalani ruwatan untuk membebaskan diri dari kekuatan buruk yang mengelilingi dirinya. Jika tidak, mereka akan mengalami kesulitan hidup, kesialan, dan malapetaka.

Sumber : rappler.com

Jumat, 04 Oktober 2019

Barong, Karakter Mitologis Pelindung Bali


Pulau Dewata menawarakan keindahan alam yang berpadu harmonis dengan adat budaya. Tradisi dan upacara keagamaan menjadi napas dalam kehidupan keseharian masyarakat Bali. Tidak mengherankan jika pemandangan orang bersembahyang ataupun mengaturkan sesajen bisa dilihat hampir sepanjang hari di Bali.

Bahkan, tradisi dan napas keagamaan warga Bali juga terbawa ke seni pertunjukan yang jamak dipertontonkan kepada pelancong. Sebut saja tari Kecak yang menampilkan fragmen Ramayana dengan iringan 'musik mulut' mistis. Dalam versi lain, ada juga tari Kecak yang menampilkan tarian Barong lengkap dengan penari yang kesurupan. Karakter Barong yang muncul di akhir pertunjukan menjadi penawar bagi mereka yang kesurupan.

Dalam pergelaran Calonarang yang biasanya dipentaskan di Pura Dalem, karakter Barong muncul sebagai lawan dan Rangda, tokoh jahat Rangda Ing Girah pada lakon Calonarang. Barong muncul membawa air penawar bagi mereka yang mengalami sakit akibat teluh yang disebar Rangda. Sungguh, pertunjukan tersebut berhawa mistis sekaligus membuat kagum.

Karakter Barong sendiri merupakan makhluk mitologi dalam Hindu. Ia merupakan simbol kebajikan atau dharma. Secara etimologi, kata Barong diyakini berasal dari Sansekerta yaitu kata b(h)arwang yang dalam bahasa Melayu dan Indonesia sejajar dengan kata 'beruang'. Hal itu mengacu kepada hewan penjaga hutan.

Ada juga pendapat lain yang mengartikan Barong berasal dari urat kata ba-ru-ang. Penggalan 'ru' dan 'ang' kemudian luruh menjadi 'rong' yang berarti 'ruang'. Hal itu mengacu kepada dua ruangan yang menjadi tempat penari Barong, yakni ruang bagian depan dan bagian belakang.

Dalam konsep keagamaan, Barong diartikan dalam dua kata 'bar/bor' dan 'ong'. 'Bor' disebut sebgaai poros, sedangkan 'ong' merupakan sebutan untuk Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Dalam hal ini, Ida Sang Hyang Widhi dimanifestasikan dalam wujud Bhatara Wisnu sebagai Yang Maha Pemelihara yang menjaga kehidupan di atas langit dan di bawah langit.

Ada beberapa jenis Barong dalam kebudayaan Bali, dari yang sering ditampilkan dalam pertunjukan Tari Barong hingga Barong yang bersifat sakral.

1. Barong Ket
Barong Ket

Barong Ket sering muncul di pertunjukan Kecak dan Calonarang. (foto: Youtube)
Inilah Barong yang paling sering ditampilkan di pertunjukan Kecak dan Calonarang. Sekilas dari penampilan, barong ini menyerupai singa dan macan.

Jika dilihat dari bentuk badan hingga wajah, barong ini merupakan perpaduan antara macan, singa, sapi, dan naga. Ukurannya juga cukup besar dengan panjang 3,5 sampai 4 meter, dan tinggi 1,5 sampai 2 meter. Wajah barong ini berwarna merah, badannya ramping dengan semacam punduk di dekat kepala.

2. Barong Bangkal
Barong Bangkal

Barong Bangkal biasanya ngelawang di Galungan. (foto: youtube)
Di Hari Raya Galungan dan Kuningan, warga desa di Bali akan dihibur dengan tampilan ngelawang Barong Bangkal.

Jika dibandingkan dengan Barong Ket, Barong Bangkal berukuran lebih kecil. Wujudnya pun berbeda. Barong Bangkal berwujud babi hutan hitam dengan moncong dan taring mencuat dan berambut.

3. Barong Macan
Barong Macan

Badan Barong Macan terbuat dari kain bermotif loreng. (foto: Youtube)
Tampilannya kayak Barong Ket, tapi topengnya macan. Badan Barong Macan yang terbuat dari kain dengan motif loreng atau tutul menyerupai macan.

Barong macan biasanya ditarikan saat upacara tertentu di tempat suci. Sama seperti Barong Bangkal, Barong satu ini juga digunakan untuk ngelawang meskipun tak terlalu umum.

4. Barong Asu
Barong Asu merupakan Barong dengan rupa seperti anjing. Barong ini sangat langka dan jarang dijumpai karena hanya ditemukan di beberapa daerah di Bali, terutama Badung dan Tabanan. Barong Asu sering ditarikan saat upacara dan juga ditarikan dengan cara ngelawang meskipun jarang.

5. Barong Gajah
Tampilan Barong Gajahnya cukup seram karena memiliki taring yang mencuat selain gading. Warna Barong Gajah didominasi abu-abu yang merupakan warna khas hewan tersebut.

Ukurannya pun tidaklah sebesar badan gajah asli. Barong ini sangat langka dan hanya ditemukan di beberapa daerah di Bali. Barong ini juga keramat bagi masyarakat. Hanya dipentaskan saat upacara tertentu dan secara ngelawang.

6. Barong Landung
Barong Landung

Cerita Jaya Pangus menjadi kisah di balik Barong Landung. (foto: baliaround.com)
Barong Landung merupakan bentuk asimilasi budaya Tiongkok. Barong ini terkait erat dengan kisah Jaya Pangus yang memperistri Kang Cing Wei, seorang Tiongkok. Versi kisah lain ialah legenda Ratu Gede Mecaling yang menyebarkan wabah penyakit di Nusa Penida. Sebagai penangkal wabah tersebut, seorang pendeta membuat boneka mirip Ratu Gede Mecaling untuk mengusir wabah tersebut.

Wujud Barong Landung ialah manusia berbadan tinggi (landung). Ada dua karakternya, yakni lelaki hitam dengan taring dan seorang perempuan putih dengan mata sipit seperti orang Tionghoa.

7. Barong Brutuk
Barong Brutuk 

Barong Brutuk yang unik. (foto: balebengong.id)
Yang satu ini khas dari daerah Trunyan. Berbeda dari Barong lainnya, wajah Barong Brutuk terbuat dari batok kelapa, sedangkan badannya terbuat dari daun pisang kering (kraras).

Jika Barong lainnya ditarikan dua orang, Barong Brutuk ditampilkan hanya oleh seorang yang harus memenuhi persyaratan. Penari Barong Brutuk harus disakralkan selama 42 hari. Mereka harus bebas dari nafsu duniawi. Selain itu, Barong Brutuk hanya ditarikan di Pura Pancering Jagat.


8. Barong Nongnongkling
Barong Nongnongkling

Nama nongnongkling diambil dari bunyi gamelan yang mengiringi. (foto: sanggarlilaanjani)
Nama nongnongkling diambil dari bunyi gamelan yang mengiringinya. Tampilan Barong yang satu ini juga hampir mirip Barong Brutuk ataupun Wayang Wong. Barong Nongnongkling umumnya ditampilkan di Kabupaten Klungkung.

Barong merupakan simbol kemenangan dari kebaikan. Ia menjadi sosok pelindung spiritual bagi masyarakat Bali. Barong dipercaya dapat meningkatkan aura energi spiritual positif bagi umat manusia. Dalam kisah yang ditampilkan dalam pertunjukan, Barong ialah wujud kebenaran. Tak sekadar simbol, kekuatan dharma (kebenaran, kebajikan) Barong dipercaya terdapat di bagian mukanya, khususnya pada mata dan jenggot. Karena itulah, masyarakat Bali percaya bahwa jika sebuah desa mengalami wabah, pemuka agama akan menjadikan air rendaman jenggot Barong sebagai air suci. Dipercaya, air tersebut memiliki kekuatan magis. Yang unik, jenggot Barong terbuat dari rambut warga.

Meskipun menjadi simbol kebajikan, wujud Barong bisa tampak menyeramkan buat beberapa orang. Barong mengambil wujud seekor singa besar dengan kepala memakai ketu (hiasan kepala) seorang pendeta. Telinga Barong dibuat lebar, dengan melotot dan tidak berkedip. Selain itu, mukanya pun merah. Ekornya yang berwarna keemasan dan lebat mengibas-ngibas. Namun, seulas senyum lebar selalu tampak di wajah Barong.

Tradisi Ngelawang
Di Hari Raya Galungan, Barong ngelawang mengitari desa

Sebagai simbol kebenaran dan kebajikan, Barong selalu muncul di Hari Raya Galungan. Hari raya itu merupakan hari untuk merayakan kemenangan dharma (kebenaran) melawan adharma (kejahatan). Di Hari Raya Galungan, Barong dibawa ngelawang, yakni menari keliling desa. Thomas A Reuter dalam bukunya, Custodians of The Sacred Mountains, menjelaskan perjalanan ngelawang merupakan sebuah paradigma simbolis dan ritual yang menyatakan hubungan antarpura, tidak hanya pada daerah pegunungan, tapi juga dimaknai sama oleh warga di bagian lain Bali.

Kegiatan ngelawangg Barong pada Galungan menyimbolkan sebagai suatu masa mengunjungi kerabat di Bali. Memang pada Galungan, orang biasanya akan kembali ke rumah asal-usul mereka untuk mengunjungi bapak ibu atau nenek kakek dan memberikan penghormatan kepada leluhur yang diabadikan di dalam pura nenek moyang mereka, yakni sanggah kemulan.

Sumber : merahputih.com

Senin, 30 September 2019

Kesaktian dalam Mempelajari Ilmu Tapak Sirih Budaya Asli Pencak Silat PSHT

Pencak silat, seni bela diri asli Indonesia yang sudah mendunia. Sudah tidak diragukan lagi kehebatannya. Bukan hanya sebagai olahraga dan bela diri, tetapi juga sebagai seni dan warisan budaya Indonesia yang harus terus dilestarikan.

Pencak silat memiliki banyak aliran yang dengan itu menunjukkan kekayaan budaya masyarakat di Indonesia. Salah satu aliran silat terbesar di Indonesia adalah Persaudaraan Setia Hati Terate atau biasa disingkat PSHT. Salah satu perguruan silat yang paling diungguli di Indonesia karena rasa persaudaraannya dan lengkapnya ilmu yang dipelajari. Untuk lebih mengenal PSHT, Dion Adhi Sahputra selaku Wakil Ketua PSHT Ranting INKOPAD yang sudah lama menjadi pelatih di PSHT ini akan membeberkan beberapa fakta unik dari PSHT yang mungkin belum banyak orang ketahui.

Kamis, 26 September 2019

Sejarah Topeng Dongkrek, Kesenian Asli Madiun

Madiun sering disebut sebagai Kota Gadis yang mempunyai beragam kisah mistis yang patut untuk dirilis sesi demi sesinya


Sejarah Kesenian Topeng Dongkrek diperkirakan dimulai pada kisaran tahun 1900 an dan dipercaya pertama kali diciptakan oleh R. Bei Lo Prawirodipuro yang pada kisaran tahun tersebut menjabat sebagai Palang (Jabatan yang membawahi 4-5 Kepala Desa) di Mejayan.

Diceritakan bahwa Daerah Menjayan terkena wabah penyakit (Pageblug). Ketika siang sakit, sore hari meninggal, atau pagi sakit malam harinya meninggal dunia. Sebagai seorang pemimpin, Raden Ngabehi Lo Prawirodipuro merenung untuk mencari metode yang tepat untuk penyelesaian atas wabah penyakit yang menimpa rakyatnya. Setelah melakukan renungan, meditasi, dan bertapa di gunung kidul Caruban, dia mendapatkan wangsit untuk membuat semacam tarian atau kesenian yang bisa mengusir bala tersebut.

Dalam cerita tersebut, wangsit menggambarkan para punggawa kerajaan roh halus atau pasukan gendruwo menyerang penduduk Caruban dapat diusir dengan menggiring mereka keluar dari wilayah Caruban. Maka dibuatlah semacam kesenian yang melukiskan fragmentasi pengusiran roh halus yang membawa pagebluk tersebut.

Pada awal perkembangannya, Seni Dongkrek hidup dan berkembang dengan begitu pesat dan menjadi Kesenian Rakyat paling populer di masa itu, namun masa kejayaannya tidaklah berlangsung lama, berangsur tapi pasti Dongkrek surut dan tak lagi diminati, sebab kemundurannya pun tidak jelas, mungkin karena sifatnya yang statis yang menimbulkan kejenuhan peminatnya atau masuknya beberapa kesenian lain terutama dari Jawa Tengah yang hingga saat ini pun masih sangat diminati oleh Masyarakat Caruban.


Selain Perkiraan tersebut, adapula kemungkinan yang mengatakan bahwa susutnya minat terhadap Seni Dongkrek masih ada hubungannya dengan meninggalnya sang pencipta yang memang semasa hidupnya terkenal sebagai orang sakti dan mempunyai kewibawaan yang besar. Jadi surutnya Dongkrek karena ditinggalkan oleh pencipta dan mungkin sekaligus sebagai satu-satunya pembina yang tangguh, ampuh dan berwibawa.

Sementara itu menurut Jaecken (2011:3), Kesenian ini mengalami masa kejayaan pada rentang tahun 1867-1902 dan setelah itu, perkembangannya mengalami pasang surut seiring pergantian kondisi politik di Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda, dongkrek sempat dilarang oleh pemerintahan Belanda untuk dipertontonkan dan dijadikan pertunjukan rakyat. Hal ini dikarenakan mereka kawatir apabila dongkrek terus berkembang, bisa digunakan sebagai media penggalang kekuatan untuk melawan pemerintahan Belanda. Saat masa kejayaan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, kesenian ini dikesankan sebagai kesenian “genjergenjer” yang dikembangkan PKI untuk memperdaya masyarakat umum. Sehingga kesenian dongkrek mengalami masa pasang surut akibat imbas politik. Tahun 1973, dongkrek digali dan kembali dikembangkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupeten Madiun bersama Propinsi Jawa Timur (Jaecken, 2011: 3).

Pada masa penjajahan Belanda, dongkrek sempat dilarang pemerintahan kolonial untuk dipertontonkan sebagai pertunjukan rakyat, karena mereka khawatir apabila Dongkrek terus berkembang, bisa digunakan sebagai media penggalang kekuatan melawan pemerintahan Belanda.
Nusantara.news, Surabaya– Malam sebelum 18 September 1948, suasana Madiun yang biasanya tenteram drastis menjadi mencekam. Keesokan hari, saat matahari belum sampai puncaknya, bergema pidato bergelora Soemarsono, Ketua Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia. “Madiun sudah bangkit, Revolusi sudah dikobarkan, Kaum buruh sudah melucuti polisi dan tentara Republik, Pemerintahan buruh dan tani yang baru sudah dibentuk”. Saat itu Madiun hampir menjadi negara.


Madiun, kawasan yang dulunya hampir jadi negara jadi saksi bisu kudeta Partai Komunis Indonesia (PKI) kepada pemerintah Republik Indonesia. Rentetan sejarah panjang kawasan yang masuk dalam tlatah Mataraman tersebut punyai beragam tradisi dan budaya. Salah satunya dalam bidang kesenian yakni kesenian Dongkrek.

Adalah Raden Raden Ngabehi Lho Prawirodipuro seorang Demang (jabatan setingkat kepala desa) di Mejayan, Madiun sebagai pelopor lahirnya Kesenian ini. Dongkrek lahir akibat dari penderitaan rakyat Mejayan kala itu yang sedang mengalami krisis pangan dan wabah penyakit. Sebagai seorang yang diberikan amanah memimpin di tingkat desa ia berikhtiar melalui meditasi di gunung kidul Caruban.

“Sebagai seorang pemimpin, Raden Ngabehi Lho Prawirodipuro merenung untuk mencari metode yang tepat untuk penyelesaian atas wabah penyakit yang menimpa rakyatnya. Setelah melakukan renungan, meditasi, dan bertapa di gunung kidul Caruban, dia mendapatkan wangsit untuk membuat semacam tarian atau kesenian yang bisa mengusir bala tersebut,” kata Jaecken MP dalam Seni Dongkrek Kecamatan Mejayan Kabupaten Madiun Tahun 1965 – 1981.

Sakral dan mistis menyelimuti seni dongkrek. Topeng mbah Palang (orang tua), topeng putri (Roro Ayu), topeng gendruwo (Butho), serta alunan musik bedug, korek, kentongan, kenong, gong besi, gong kempul, kendang dan kempul jadi komponen penting dalam seni dongkrek. Alat musik yang beraneka ragam menjadi simbol kebinekaan antara islam, cina dan jawa.

“Dung….”suara beduk menggelegar. “krek….”suara geseran dari kayu bujur sangkar dengan tangkai kayu bergerigi menjadi suara utama seni ini. Hal itu pula menjadi asal muasal nama dongkrek disematkan pada kesenian khas Madiun.

Perpaduan harmonis antara tari dan musik menjadi mutlak dalam kesenian ini. Karena setiap awal dan akhir gerak tari dalam kesenian Dongkrek diberikan tanda pukulan irama kendang. Pemain kendang harus dapat menyesuaikan posisi penari. Pun sebaliknya untuk penari harus memperhatikan tanda dan irama yang diberikan pemain kendang.

“Bade nyigeg tari ngih ater-ater kendang bade ganti gerak tari niku ngih ater-ater kendhang. Nek musike tetep mas ”, (untuk nyigeg tari dipakai tanda irama kendang, akan ganti gerakan juga ada tanda dari irama kendang),” terang Walgito, pria baruh baya yang tinggal di tanah kelahiran kesenian Dongkrek.


Iringan tempo kendang juga menunjukkan perbedaan peran dari tokoh yang akan tampil. Misalkan ketika tokoh dengan topeng tua memasuki panggung. Maka tempo dari suara kendang akan terdengar sedikit pelan. Berbeda ketika topeng gendruwo atau butho memasuki panggung. Tempo hentakan dari suara kendang akan sedikit lebih cepat, seolah menunjukkan sifat pongah dan semena-mena.

“Musik mbah Palang itu santai. Karena musiknya mbah Palang kan dia sudah tua paribasan wong tuek ungkangungkuk dijengkakne ambruk jadi itu musik temponya ga terlalu cepat. Lain dengan buto itu keras, karena kemlinti kemethak iki lho aku menangan kasarane gitu. Jadi musiknya itu keras. kalo untuk Roro Ayu itu agak santai karena dia itu alus kalo joget lain kalo untuk Roro Tumpi, karena itu sing momong njel-njelan seperti itu. Itu dipisah masing-masing mas ” terang Suwadi warga desa Sumbesoko, Madiun.


Pasang surut, manis, getir sudah dialami oleh seni dongkrek. Pada masa penjajahan Belanda, dongkrek sempat dilarang oleh pemerintahan kolonial untuk dipertontonkan sebagai pertunjukan rakyat. Hal ini dikarenakan mereka khawatir apabila Dongkrek terus berkembang, bisa digunakan sebagai media penggalang kekuatan untuk melawan pemerintahan Belanda.

“Saat masa kejayaan PKI di Madiun, kesenian ini dikesankan sebagai kesenian “genjer-genjer” yang dikembangkan PKI untuk memperdaya masyarakat umum. Sehingga kesenian dongkrek mengalami masa pasang surut akibat imbas politik. Tahun 1973, Dongkrek digali dan kembali dikembangkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupeten Madiun bersama Propinsi Jawa Timur, “ terang Jaecken penulis Seni Dongkrek Kecamatan Mejayan Kabupaten Madiun Tahun 1965 – 1981.

Dongkrek Kesenian syarat nilai

Tidak dipungkiri kesenian Dongkrek dilihat dari latar belakang terciptanya syarat akan nilai dan budi luhur. Mulai dari nilai spiritual, kepemimpinan, kepahlawanan, moral dan simbolik. Banyak pesan yang disampaikan secara implisit dalam kesatuan alur cerita utuh.

“Nafsu aluamah disimbolkan dengan warna hitam, nafsu ini menggambarkan dalam diri manusia terdapat sifat kejam. Nafsu amarah disimbolkan dengan warna merah dan memiliki arti bahwa dalam diri manusia terdapat sifat sombong, pemarah, dan tidak mau dilampaui orang lain,” jelas Hening Qodam Sejari dalam penelitiannya tentang kesenian dongkrek.

Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa warna kuning dalam kesenian Dongkrek disimbolkan sebagai nafsu supiah. Artinya dalam diri manusia terdapat sifat mengagungkan keindahan dan kemegahan duniawi. Nafsu mutmainah dilambangkan dengan warna putih memiliki makna bahwa dalam diri manusia terdapat sifat kebajikan dan merujuk manusia melakukan ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.


“Unsur cerita dan tokoh kesenian Dongkrek terdapat makna yang lebih mendalam. Sosok buto dalam kesenian Dongkrek meskipun Buto atau Genderuwo memiliki sifat yang jahat, brangasan dan berasal dari golongan dedemit bisa diajak bersatu untuk berbuat kebaikan. Tuntunan ini menjadi pelajaran bahwa seburuk apapun manusia pasti terdapat kebaikan dalam dirinya. Pesan-pesan inilah yang selalu dibawa dalam kesenian Dongkrek dan terus menerus disampaikan secara berkesinambungan secara turun temurun,” imbuhnya.

Pesan sura dira jaya ningrat, ngasta tekad darmastuti (setiap kejahatan pada akhirnya akan kalah juga dengan kebaikan dan kebenaran) tampak jelas dalam kesenian Dongkrek. Bagaimana keberanian Raden Ngabehi Lho Prawirodipuro dalam hal ini disimbolkan oleh eyang palang menumpas masa paceklik dengan mengalahkan Buto.

Pada akhirnya kesenian Dongkrek memberikan gambaran seharusnya seorang pemimpin. Ketika susah atau keadaan paceklik bukan meninggalkan rakyat tapi bagaimana berjuang bersama rakyat dalam menghadapi kesusahan. Tidak sekedar memikirkan solusi jangka pendek tapi harus jangka panjang dan visioner. Baik persoalan sepele tentang garam, beras maupun hutang yang nantinya akan jadi penderitaan seluruh rakyat. Pemimpin harus berikhtiar dan berpikir seimbang dalam mengambil setiap keputusan.