Minggu, 06 Oktober 2019

Ruwatan Sukerta, Ritual Kuno Buang Sial di Masyarakat Jawa


Dalang Ki Lebdo Pujonggo memimpin prosesi ruwatan massal. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

SOLO, Indonesia — Pagi menjelang siang itu, sekitar 300 orang berjalan berarakan dari Dalem Suryahamijayan menuju menuju Kagungan Dalem Sasana Mulya di Komplek Keraton Surakarta. Anak-anak hingga lanjut usia mengenakan busana serba putih berbalut kain dan ikat kepala dari kain mori polos.

Mereka akan mengikuti ruwatan sukerta, sebuah ritual kuno pembersihan diri yang sudah dikenal masyarakat Jawa jauh sebelum masuknya agama-agama samawi di Indonesia. Ruwatan massal gratis ini digelar oleh Direktorat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bekerja sama dengan Keraton Kasunanan.

Di pendapa Sasana Mulya, pakeliran (layar) wayang kulit dibentangkan lengkap dengan susunan gamelan dan para penabuh gamelan beserta pesinden. Pintu masuknya berhias janur kuning, tandan pisang, dan daun beringin seperti dalam acara pernikahan.

“Siraman air merupakan prosesi untuk membersihkan diri dari sukerta–kotoran jiwa, aura negatif, dan spirit jahat. Sukerta disebabkan karena dosa yang jadi penghalang kesuksesan atau penyebab hidup seseorang jadi gelisah.”
Setiap orang harus berbaris memasuki pintu itu lalu duduk lesehan di pendapa dengan tenang, tak boleh makan atau bermain ponsel selama prosesi. Di depan mereka sudah tertata ubo rampe (perlengkapan ritual) ruwatan, dari mulai ternak unggas hingga perabot rumah tangga.

Di bilik penyucian, beberapa abdi dalem perempuan berkebaya hitam dan berkain jarik bersila di lantai sambil membakar kemenyan dan aneka wewangian di atas tungku kecil hingga aroma dan asap pekatnya memenuhi ruangan. Tembang Jawa yang dilantunkan pesinden tanpa iringan gamelan menambah suasana semakin mistis.

Satu per satu peserta ruwatan memasuki bilik untuk menjalani pembersihan. Ki Lebdo Pujonggo Harimurti, dalang yang memimpin ritual, membacakan doa dan menuangkan air kembang setaman ke atas kepala setiap orang yang diruwat. Air untuk siraman diambil dari berbagai sumber mata air yang dianggap suci, di antaranya Gunung Semeru, Sumur Jolotundo Gunung Lawu, Masjid Agung Surakarta, dan Sumur Kadilangu Demak.

Siraman air ini merupakan prosesi untuk membersihkan diri dari sukerta–kotoran jiwa, aura negatif, dan spirit jahat. Sukerta bisa disebabkan karena dosa dan kesalahan masa lalu yang menjadi penghalang kesuksesan atau menyebabkan hidup seseorang menjadi gelisah.

Ada juga sukerta yang dibawa oleh seseorang sejak lahir. Menurut kepercayaan Jawa, beberapa anak sukerta yang butuh diruwat antara lain:
  • Ontang-anting (anak tunggal)
  • Pancuran kapit sendang (tiga anak, laki-laki di tengah)
  • Sendang kapit pancuran (tiga anak, perempuan di tengah)
  • Uger-uger lawang (dua anak laki-laki)
  • Kembang sepasang (dua anak perempuan)
  • Kendhana kendhini (dua anak, laki-laki dan perempuan)
  • Pendhawa (anak lima, laki-laki semua)
  • Mancalaputri (anak lima, perempuan semua)
  • Anak kembar
Ada pula anak yang perlu diruwat terkait dengan kondisi saat lahir, misalnya:
  • Julung wangi (lahir saat matahari terbit)
  • Julung pujud (lahir saat matahari terbenam)
  • Julung sungsang (lahir tengah hari)
  • Tiba sampir (lahir berkalung plasenta)
  • Lawang menga (lahir saat candikala, saat langit berwarna merah kekuningan)
Orang yang terlahir dengan sukerta, dalam kepercayaan Jawa, harus menjalani ruwatan untuk membebaskan diri dari kekuatan buruk yang mengelilingi dirinya. Jika tidak, mereka akan mengalami kesulitan hidup, kesialan, dan malapetaka.

Sumber : rappler.com

0 komentar:

Posting Komentar